Epistemologi
berasal dari kata episteme
(pengetahuan) dan logos
(kata/pembicaraan/ilmu). Kata episteme berarti cabang
filsafat
yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan.
Secara sederhana epistemologi berarti ilmu tentang pengetahuan
(theory of knowledge). Pengetahuan tersebut
diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai
metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode
positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Ada tiga metode
yang dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan, yaitu :
-
Empirisme : cara memperoleh pengetahuan melalui pengalaman
Tokoh empirisme adalah John Locke. Ia mengemukakan bahwa seorang bayi yang baru lahir adalah sebuah catatan kosong (tabula rasa) yang kelak di dalamnya akan dicatat pengalaman-pengalaman inderawi -
Rasionalisme : sumber pengetahuan adalah akal, pengalaman hanya dianggap sebagai perangsang bagi pikiran.
-
Fenomenalisme : menganggap penganut empirisme benar dan penganut rasionalisme juga benar, meski keduanya hanya benar sebagian.
Bapak fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Ia menganggap bahwa sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu, kita hanya mempunyai pengertian akan sesuatu seperti yang nampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (phenomenon).
Epistemologi memiliki sifat-sifat, yaitu :
-
Secara kritisàmempertanyakan/menguji cara kerja, pendekatan, kesimpulan yg ditarik dlm kegiatan kognitif manusia
-
Secara normatif àmenentukan tolok ukur/norma penalaran tentang kebenaran pengetahuan
-
Secara evaluatif à menilai apakah suatu keyakinan,pendapat suatu teori pength dapat dipertanggungjawabkan dan dijamin kebenarannya secara logis dan akurat
Pengetahuan dapat diperoleh dari beberapa sumber seperti dari
pengalaman, ingatan (memory), penegasan tentang apa yang diobservasi
(kesaksian), minat dan rasa ingin tahu, penalaran dan pikiran,
logika, bahasa, serta dari kebutuhan hidup manusia. Dari logika kita
dapat memperoleh pengetahuan karena dengan logika kita dapat berpikir
tepat dan logis sehingga pengetahuan bisa tercipta. Bahasa juga
menjadi sumber pengetahuan karena dengan bahasa orang dapat
mengekspresikan pemikiran-pemikirannya. Sedangkan kebutuhan hidup
mendorong manusia agar tercipta IPTEK.
Struktur ilmu pengetahuan memiliki dua kutub yaitu (a) kesadaran
/ subjek ( S ) à
berperan sebagai yang menyadari /
mengetahui , (b) objek (O) à
berperan sebagai yang disadari / diketahui.
Hubungan antara S dan O inilah yang
menghasilkan pengetahuan.
Ada 5 teori kebenaran dalam ilmu pengetahuan, yaitu :
-
Teori kebenaran korespondensi : kebenaran terjadi jika subjek yakin bahwa objek sesuai dengan kenyataannya. Sifat teori ini subjektif.
Contohnya à Saya melihat mobil berwarna hijau dan kenyataannya mobil itu memang berwarna hijau. -
Teori kebenaran koherensi : kebenaran terjadi apabila ada kesesuaian pendapat dari beberapa subjek terhadap objek.. Sifatnya objektif.
Contohnya àBeberapa dokter merasa yakin dan benar penyakit itu berasal karena keracunan makanan -
Teori kebenaran pragmatik : kebenaran terjadi jika sesuatu memiliki kegunaan.
Contoh : AC berguna untuk mendinginkan ruangan -
Teori kebenaran konsensus : Terjadi apabila ada kesepakatan yang disertai aturan tertentu.
Contoh : Beberapa dokter yang menangani Bapak Gubernur sepakat bahwa ia (pasien) harus dioperasi secepatnya karena penyakit usus buntunya sudah parah. -
Teori kebenaran semantik :Terjadi ketika orang dapat mengetahui secara tepat ocehan anak.
Kebenaran
Di dalam
kehidupan sehari-hari sering kita mendengar ungkapan: “meskipun
kebenaran itu mahal harganya, saya akan tetap menegakkannya” ,”saya
rela mati untuk membela kebenaran” atau “saya rela melakukan
apapun untuk membela kebenaran”. Pernyataan-pernyataan tersebut
menyiratkan bahwa kebenaran itu sangatlah penting dan berharga bagi
kita.
Kemudian
muncullah pertanyaan: “Tetapi apakah sungguh ada kebenaran itu?”
, “ Kalau ada, apakah sesungguhnya kebenaran itu?” , “Apakah
kebenaran itu bersifat subyektif, obyektif atau universal?” ,
“Dapatkah manusia mencapai kebenaran yang obyektif dan universal?”
dan “Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa sesuatu itu merupakan
kebenaran?”
Pertanyaan-pertanyaan
di atas akan dibahas satu persatu dalam artikel ini, dimulai dari
“Apakah kebenaran itu?”. Kebenaran sebagai sifat pengetahuan
disebut kebenaran epistemologis dan lawan dari kebenaran adalah
salah. Secara umum, kebenaran biasanya dimengerti sebagai kesesuaian
antara apa yang dipikirkan dan atau dinyatakan dengan kenyataan yang
sesungguhnya. Suatu pengetahuan atau pernyataan disebut benar jika
sesuai dengan kenyataan. Dengan demikian, kenyataan menjadi suatu
ukuran penentu penilaian.
Bahasa Yunani
untuk kebenaran adalah alètheia. Pengertian Plato tentang
kebenaran secara etimologi sebagai alètheia berarti
“ketaktersembunyiaan adanya” atau “ketersingkapan adanya”.
Menurut Plato bahwa selama kita terikat pada “yang ada” dan tidak
masuk pada “adanya dari yang ada”, kita belum berjumpa dengan
kebenaran, karena “adanya” itu masih tersembunyi. Baru ketika
selubung yang menutupi “semua yang ada” itu disingkapkan sehingga
terlihat oleh mata batin kita, maka terbukalah “adanya” atau
bertemulah kita dengan kebenaran.
Berbeda dengan
Plato, Aristoteles dalam memahami kebenaran lebih memusatkan
perhatian pada kualitas pernyataan yang dibuat oleh subyek penahu
ketika dirinya menegaskan suatu putusan entah secara afirmatif atau
negative. Ada tidaknya kebenaran dalam putusan yang bersangkutan
bersifat afirmatif (menegaskan atau mengucapkan) (S itu P) atau
negatif (S itu bukan P) itu tergantung pada apakah putusan yang
bersangkutan sebagai pengetahuan dalam diri subyek penahu itu sesuai
atau tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam hal ini kebenaran
dimengerti sebagai kesesuaian antara subyek si penahu dengan obyek
yang diketahui.
Menurut kaum
Positivisme Logis kebenaran dibedakan menjadi dua, yaitu kebenaran
faktual dan kebenaran nalar. Kebenaran faktual adalah kebenaran
tentang ada tidaknya secata faktual di dunia nyata sebagaimana
dialami manusia (yang biasanya diukur dengan dapat atau tidaknya
secara inderawi). Misalnya bumi bulat sebagai pernyataan yang
memiliki kebenaran faktual atau tidak, pada prinsipnya bisa diuji
kebenarannya berdasarkan pengamatan inderawi. Kebenaran faktual
kepastiannya tidak pernah mutlak dan tetap diterima sebagai benar
sejauh belum ada alternative pandangan lain yang menggugurkannya.
Kebenaran nalar
adalah kebenaran yang bersifat tautologis (pengulangan gagasan) dan
tidak menambah pengetahuan baru mengenai dunia, tetapi dapat menjadi
sarana yang berdaya guna untuk memperoleh pengetahuan yang benar
tentang dunia ini. Kebenaran nalar dapat membantu untuk memperoleh
kebenaran faktual. Kebenaran nalar berbeda dengan kebenaran faktual
yang bersifat nisbi (hanya terlihat ketika dibandingkan dengan yang
lain, tidak mutlak dan relatif) dan mentak (mungkin, belum pasti),
sedangkan kebenaran nalar bersifat mutlak dan tidak niscaya (tentu,
pasti).
Selain kedua
jenis kebenaran yang diungkapkan oleh kaum Positivis Logis, mengikuti
Thomas Aquinas, maka kebenaran dibedakan menjadi dua, yaitu kebenaran
ontologis (Veritas Ontologica) dan kebenaran logis (Veritas Logis).
Kebenaran ontologism merupakan kebenaran yang terdapat dalam
kenyataan, entah spiritual atau material, yang meskipun ada
kemungkinan untuk diketahui. Kebenaran logis sebagai kebenaran yang
terdapat dalam akal budi manusia si penahu, dalam bentuk adanya
kesesuaian antara akal budi dengan kenyataan.
Kedudukan
kebenaran pengetahuan dalam pandangan Platonis lebih diletakkan dalam
obyek atau kenyataan yang diketahui sedangkan Aristotelian dalam
subyek yang mengetahui. Kedudukan kebenaran dalam tradisi
Aristotelian lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Bagi manusia
sebagai makhluk yang terbatas, kebenaran sebagai ketersingkapnya
kenyataan sebagaimana adanya dan itu ternyata tidak dapat disaksikan
secara sekaligus dan menyeluruh.
Kekeliruan perlu
dibedakan dengan kesahihan. Kekeliruan adalah segala sesuatu yang
menyangkut tindakan kognitif subyek penahu, sedangkan kesalahan
adalah hasil dari tindakan tersebut. Kekeliruan dapat dikarenakan
gegabah dalam menegaskan putusan tentang suatu perkara.
Faktor-faktor
yang dapat menyebabkan terjaidnya kekeliruan misalnya:
-
Sikap terburu-buru dan kurang perhatian dalam salah satu tahap atau keseluruhan proses kegiatan mengetahui
-
sikap takut salah yang keterlaluan atau sebaliknya sikap terlalu gegabah dalam melangkah. Sikap yang pertama menyebabkan orang menganggap belum cukup bukti untuk dapat menerima kebenaran padahal sebenarnya sudah cukup, sedangkan sikap yang kedua terlalu cepatr merasa cukup menegfaskan benar atau salah, padahal belum cukup bukti.
-
Kerancuan atau kebingungan akibat emosi, frustasi, perasaan yang entah mengganggu konsentrasi atau membuat kurang terbuka terhadap bukti-bukti yang tersedia.
-
Prasangka dan bias-bias, baik individu maupun sosial.
Keliru dalam penalaran atau tidak mematuhi aturan-aturan logis.
0 komentar:
Posting Komentar